dinamika politik luar negeri pada masa sukarno, peyimpangan terpimpin terhadap politik luar negeri, politik luar negeri pada masa sukarno
Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin dan Dinamika Politik Luar Negeri pada Masa Seokarno
literasisejarah7.blogspot.com - Sejak diproklamasikannya kemerdekaann Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diangkatnya Sukarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia, berbagai permasalahan menghadang pemerintahannya. Permasalahan utama sepanjang periode 1945-1949 merupakan perjuangan yang panjang untuk mempertahankan kemerdekaan muda ini. Melalui jalur diplomasi hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, pada 2 November 1949 disepakati terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
Baca Juga : Geogre Washington
Akan tetapi RIS hanya bertahan satu tahun dan pada 17 Agustus 1950 Indonesia berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia yang berada di garis politik luar negeri, mengambil sikap bebas dan aktif. Bebas berarti menentukan jalan sendiri dan tidak terpengaruh dari berbagai pihak, terutama dalam konstelasi dan polarisasi Perang Dingin. Aktif berarti turut serta membantu tercapainya perdamaian dunia dan bersahabat dengan seluruh bangsa.
Baca Juga : Perang Sipil Amerika
Pemerintah Indonesia juga mengabungkan antara politik bebas aktif dengan bertetangga baik (good neigbhour policy), yang bisa dilihat hubungan dengan negara-negara tetangga seperti India, Pakistan, Birma, dan Sri Langka yang memiliki pandangan sama tentang politik internasional, terutama menyangkut Perang Dingin.
Baca Juga : Siapa Ir. Soekarno
Selama 1950an, awal indonesia berdemokrasi sesudah merdeka, keseimbangan politik di dalam negeri juga menjadi permasalahan tersendiri bagi sukarno. Dikarenakan pertentangan dan pengkubuan yang kuat antar berbagai faksi dan golongan politik, di sepanjang tahun 1950 terjadi tujuh kali pergantian kabinet, mulai dari Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951) hingga Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959).
Baca Juga : Bangsa Arab
Meski kabinet yang terbentuk saat itu bersifat zaken kabinet atau kabinet yang menteri-menterinya dikatakan ahli pada bidangnya masing-masing, tetapi nyatanya tidak ada kabinet yang mampu melaksanakan programnya dengan baik dikarenakan persaingan kubu oposisi yang terlalu kuat di parlemen sering menjatuhkan kabinet yang sedang berjalan. Bahkan ada juga kasus dimana partai dan pemerintah saling menjatuhkan kabinetnya sendiri. Hal inilah yang menjadi penyebab ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi Liberal itu.
Baca Juga : Abraham Linloln
Padahal di periode tersebut, tidak sedikit permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia di dalam negeri yang mencakup permasalahan ekonomi, integrasi, birokrasi, hingga sampai pada permasalahan keamanan dalam negeri. terjadinya pemberontakan dimana-mana yang merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti Gerakan Andi Aziz, Gerakan Republik Maluku Selatan, hingga Gerakan Negara Islam Indonesia, munculnya Dewan-Dewan di daerah, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Perjuangan Semesta.
Baca Juga : Letak Geografis Arab dan Kondisi Penduduknya
Sementara itu, permasalan di luar negeri juga tidak sedikit dihadapi pada era ini. Kabinet Sukiman (April 1951-Febuari 1952) misalnya, menandatangani persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada indonesia atas dasar MTA (Mutual Security Act).
Baca Juga : Teknologi Nuklir
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, pemerintah mendapat kritik keras karena dianggap meninggalkan sistem politik bebas aktif dan memasukkan indonesia ke dalam sistem pertahanan Blok Barat. Selain itu, indonesia juga harus menghadapi permasalahan Irian Barat yang tak kunjung usai.
Baca Juga : Indonesia dan Nuklir
Bagi Sukarno era Demokrasi Parlementer menghadirkan hambatan besar berupa sangat terbatasnya kekuasaan seorang presiden. Dengan lemahnya parlemen indonesia akibat persaingan antar partai dan faksi, ditambah lagi status presiden yang hanya simbol belaka dan tidak memiliki kekuatan berarti, Sukarno merasa hal ini dapat melemahkan pembangunan bangsa karena partai-partai yang ada pada saat itu hanya berfokus kepada kepentingan masing-masing dan tidak adanya sosok pemimpin yang kuat.
Baca Juga : Nukir Sukarno
Sebagai Respon terhadap serangkaian peristiwa politik yang terjadi, pada juli 1959 Sukarno sampai pada simpulan bahwa telah timbul "keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan Negara, Nusa dan Bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.'' Maka pada hari Minggu 5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Dekrit Presiden menyebabkan berubahnya sistem pemerintahan yang awalnya parlementer menjadi sistem pemerintahan presidensil.
Kemudian Indoenesia memasuki era baru yang dinamakan sebagai era Demokrasi Terpimpin yang di dominasi oleh kepribadian Sukarno. Sentralitas Sukarno selama masa Demokrasi Terpimpin sangat berpengaruh terhadap keputusan-keputusan yang nanti diambil terkait arah perjuangan dan perkembangan bangsa, tidak terkecuali kepemilikan Teknologi Nuklir di Indonesia.
Dengan tidak terwujudnya Stabilitas politik pada era Demokrasi Parlementer segera digantikan oleh pemerintahan yang didominasi oleh sosok presiden yang sangat kuat. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak lagi memiliki fungsi kontrol terhadap presiden, dan hanya berfungsi sebagai pembantu pemerintah.
Sesuai dengan ciri politik Sukarno yang flamboyan dan berani menentang negara-negara Barat di forum Internasional, maka demikianlah politik luar negeri Indonesia yang dijalankan pada era Demokrasi Terpimpin pun menjadi politik luar negeri yang bersifat konfrontatif dan high profile.
Arah konfrontatif ini antara lain ditempuh akibat kegagalan dalam upaya diplomasi untuk memperjuangkan Irian Barat. persoalan tentang Irian Barat berulang kali masuk ke dalam pembahasan Majelis Umum PBB, akan tetapi tidak pernah berhasil memperoleh tanggapan positif bagi indonesia. karena jalan damai tidak membuahkan hasil, maka Sukarno memutuskan untuk menempuh jalan lain, yaitu politik konfrontasi.
Landasan Politik luar negeri Indonesia ini terkait dengan pidato Presiden Sukarno pada 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang berjudul ''To Build the World A new'' (Membangun Dunia Baru) yang dengan ketetapan MPRS No. I/MPRS1960, 19 November 1960, ditetapkan sebagai ''Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politk Luar Negeri Indonesia'', dengan keputusan DPA No. 2/KPTS/Sd/61, 19 Januari 1961, dinyatakan sebagai ''Garis-Garis Besar Politik Luar Negeri Republik Indonesia''. Kebijakan politik Luar Negeri Indonesia arahan Sukarno saat itu memiliki tujuan menghapus pratik imprialisme di seluruh dunia.
COMMENTS